Senin, 01 September 2008

Menata Kembali Niat Suci Reformasi

Menata Kembali Niat Suci Reformasi

Labilitas kondisi bangsa Indonesia saat ini, tampaknya masih terus berlanjut. Berbagai persoalan melingkupi hampir seluruh sendi kehidupan; sosial, budaya, ekonomi, politik, hukum dan pelbagai sendi kehidupan lainnya yang semakin menambah panjang derita bangsa ini.

Persoalan-persoalan sosial, seperti konflik horisontal bernuansa SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), maraknya peredaran narkoba, tingginya angka kriminalitas, meningkatnya jumlah pengangguran, eksploitasi sekaligus kekerasan terhadap anak di bawah umur, menjamurnya perjudian dan prostitusi, serta berbagai masalah sosial lainnya menjadi pemandangan sehari-hari masyarakat negeri ini.

Di bidang budaya, krisis identitas tengah melanda bangsa ini. Bangsa yang dulu dikenal dengan sopan santunnya, adat ketimurannya, serta nilai-nilai agamanya, kini seakan-akan tidak peduli lagi dengan seperangkat nilai-nilai normatif, baik yang terdapat dalam sebuah masyarakat, lebih-lebih yang diajarkan oleh agama. Hal ini bisa dilihat, misalnya, maraknya pornografi dan pornoaksi dianggap suatu hal yang biasa. Beredarnya koran, tabloid, serta majalah “kuning” tidak dianggap sebagai suatu hal yang mengkhawatirkan masa depan bangsa. Merebaknya tayangan film, sinetron, musik, bahkan iklan yang mengumbar sensualitas, pamer aurat serta eksploitasi tubuh kaum hawa, bahkan belakangan juga kaum adam, sudah menjadi konsumsi sehari-hari masyarakat negeri ini.

Kenyataan yang tidak jauh berbeda, bahkan yang sangat dirasakan oleh masyarakat negeri ini adalah berkaitan dengan masalah ekonomi. Melambungnya harga-harga kebutuhan pokok seiring dengan naiknya harga bahan bakar minyak (BBM), serta ulah para pejabat di pelbagai instansi pemerintah yang masih melanggengkan praktek korupsi semakin menyengsarakan rakyat banyak.

Di sisi lain, kehidupan politik pun tidak kalah memprihatinkan. Kebebasan berpendapat dalam menyuarakan aspirasi rakyat sedikit demi sedikit dibungkam. Tindakan represif aparat dengan menangkapi para demonstran yang, tidak jarang disertai dengan tindak kekerasan semakin menunjukkan sikap angkuh pemerintah, sekaligus membuka mata kita bahwa pemerintah belum dewasa dalam berpolitik. Di samping itu, yang lebih ironis adalah sikap para anggota dewan, yang tanpa risih dan malu lagi rame-rame menuntut kenaikan tunjangan.

Harapan terakhir bangsa ini adalah pada penegakan supremasi hukum. Ironisnya, hukum yang tujuannya untuk memberikan keadilan sosial untuk semua (social justice for all), saat ini justru dapat dieksploitasi sesuai dengan cita rasa kekuasaan. Para eksploitator dengan seenaknya menggunakan kekuasaan untuk mempertahankan kepentingan mereka.Institusi pengadilan seolah-olah impoten (baca: tidak berdaya) dalam menjalankan tugasnya. Ini dapat dilihat dari banyaknya kasus yang menyangkut para pejabat tinggi (white collar crime) dibiarkan menguap begitu saja tanpa ada kejelasan mengenai sanksi hukumnya.

Upaya mencari problem solving atas berbagai persoalan yang muncul di tengah-tengah masyarakat adalah suatu hal yang mendesak dan tidak bisa ditunda-tunda lagi. Ironisnya, sikap dan perilaku para pejabat negara tidak mencerminkan adanya keprihatinan terhadap persoalan yang sudah sedemikian peliknya.

Alih-alih mencari solusi atas berbagai persoalan yang melanda bangsa ini, para pejabat justru hanya berpikir bagaimana bisa “survive” di tengah situasi ekonomi yang sulit ini. Lebih mengenaskan lagi, perilaku para wakil rakyat pun setali tiga uang. Mereka yang notabene “wujud” dari suara rakyat seakan acuh tak acuh menghadapi berbagai problematika yang menimpa rakyat. Mereka sibuk ‘memenuhi’ pundi-pundi keluarga masing-masing. Sementara aspirasi-aspirasi rakyat yang disampaikan kepada mereka seolah menguap begitu saja, tanpa ada kejelasan kapan aspirasi tersebut dipenuhi.

Kenyataan ini, mengingatkan penulis pada sebuah adagium politik cukup klasik, yang diungkapkan oleh Lord Acton, ia mengatakan, ‘power tends to corrupt, and absolute power tends to corrupt absolutely’. Kekuasaan cenderung bertindak korup, dan kekuasaan yang mutlak cenderung berbuat korup secara mutlak pula. Fenomena inilah, tampaknya, yang sedang melanda bangsa Indonesia saat ini.

Kondisi bangsa yang semakin terpuruk ini, hendaknya menyadarkan pemerintah serta para pejabat negara untuk menata kembali niat suci reformasi yang sudah diselewengkan dari tujuan yang sesungguhnya. Agenda reformasi berupa pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), perbaikan sistem ekonomi, penataan kembali sistem politik, serta penegakan supremasi hukum perlu segera dilaksanakan.

Hal ini penting, karena selama bangsa Indonesia, lebih-lebih pemerintah dan para pejabat negara belum bisa menanggulangi KKN, serta masih membiarkan terbengkalainya pelbagai macam “pekerjaan rumah” yang ditinggalkan oleh pemerintah sebelumnya, maka sesungguhnya slogan-slogan reformasi itu hanya akan menjadi slogan kosong belaka, tanpa pernah ada realisasinya.

Dengan demikian, makna suci reformasi mengalami pendistorsian dari makna yang sesungguhnya. Keenyataan ini, jika dibiarkan berlarut-larut akan berimplikasi negatif bagi proses reformasi yang tengah dibangun. Lebih jauh, hal ini akan merusak tujuan reformasi yang sesungguhnya.

Untuk mengembalikan roda reformasi pada porosnya, kemudian meletakkannya pada rel yang sesungguhnya, dibutuhkan political will serta kedewasaan bersikap dari segenap elemen bangsa. Rakyat, pemerintah, elite politik, serta seluruh instrumen penyelenggara negara hendaknya bersikap dewasa, baik dalam berpikir maupun bertindak. Sehingga segala permasalahan yang dihadapi dapat diselesaikan dengan baik melalui proses berpikir jernih dengan cara-cara penyelesaian yang positif dan damai. Sehingga, dengan demikian win-win solution akan menjadi hasil akhir yang menguntungkan semua pihak.

Akhirnya, rakyat Indonesia mengetuk hati nurani pemerintah serta para pejabat negeri ini untuk lebih memperhatikan nasib bangsa ini, sehingga niat suci reformasi untuk memberantas KKN, menghapuskan segala bentuk ketidakadilan, meruntuhkan diskriminasi, mewujudkan sebuah masyarakat madani (civil society), masyarakat berperadaban yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan kesetaraan, serta upaya menciptakan pemerintahan yang bersih ( clean governance) benar-benar terwujud.

Pemerintah Indonesia Menjawab tanpa Bertanya, Bertindak tanpa Pijakan.

Pemerintah Indonesia Menjawab tanpa Bertanya, Bertindak tanpa Pijakan.

"Perubahan iklim dan pemanasan global itu nyata. Mari kita berhenti mendebatkan hal itu, mari bertindak nyata," demikian kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, seperti dikutip Jurnal Nasional, 06 Juni 2008. Pernyataan itu disampaikan presiden dalam peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia Tahun 2008 di Istana Negara, Jakarta.

Sejauh yang bisa saya amati, kata “tindakan nyata” tampaknya menjadi semacam kata kunci pemerintah sekarang dalam menunjukkan eksistensinya. Kata itu pulalah yang kerap dijadikan senjata dalam menjawab kritikan.


Menurut saya, pernyataan itu tidak semata-mata hendak menyatakan bahwa tindakan nyata itu penting; bahwa kerja nyata itu penting, tetapi juga bermakna bahwa kritik itu baru bisa diterima bukan dalam bentuk pernyataan gagasan, tetapi realisasi dari gagasan. Itu artinya, pemerintah sebenarnya tidak mau menerima saran dan kritik yang tidak sesuai dengan kehendak dan kepentingannya.

Mari kita cermati lagi pernyataan Susilo di atas. Dia mengatakan bahwa perubahan iklim dan pemanasan global itu nyata. Ya, benar, dan itu bisa dibuktikan. Dalam kalimat berikutnya, Susilo mengatakan, “mari kita berhenti mendebatkan hal itu, mari bertindak nyata”.

Bagi saya, pernyataan itu sulit diterima logika. Penyataan bahwa kita tidak perlu mendebatkan atau mempersoalkan pemanasan global, itu artinya kita diajak untuk berhenti mencari akar penyebab terjadinya pemanasan global. Itu sama dengan kita disuruh menjawab suatu persoalan yang kita tidak tahu penyebabnya. Mungkinkah kita memberi jawaban tanpa pertanyaan? Jawabnya, tidak!

Pemanasan global dan persoalan lingkungan secara umum tidak lepas dari tata ekonomi-politik dominan saat ini. Lingkungan alam memang senantiasa berubah dalam keseimbangan. Tetapi, di era kapitalisme global seperti sekarang, perubahan itu lebih banyak dipengaruhi intervensi manusia yang dalam banyak kasus tidak memperhitungkan keseimbangan, melainkan semata-mata untuk keuntungan.

Coba kita lihat dan pertanyakan, berapa besar kerusakan hutan akibat ekplorasi industri kehutanan? Bandingkan dengan kerusakan yang diakibatkan praktik perladangan berpindah yang kerap menjadi kambing hitam penyebab kerusakan hutan? Berapa banyak kawasan resapan air yang beralih fungsi menjadi perumahan mewah? Sungguh panjang bila itu diungkap semua.

Jika itu tidak dipersoalkan atau diperdebatkan sampai ke akar pemikiran yang mendasarinya, lalu apa yang bisa kita perbuat untuk membuat baik lingkungan yang semakin rusak ini? Tindakan nyata untuk itu jelas penting dan harus, tetapi tindakan nyata seperti apa yang bisa kita perbuat jika kita buta dan menutup mata pada akar persoalan penyebabnya?

Menurut saya, jika pemerintah memang paham dan mengerti persoalan-persoalan yang dihadapi Indonesia saat ini, segeralah berhenti mengemukakan pernyataan seperti yang dikatakan Susilo dan mulailah belajar lagi memahami kenyataan di Indonesia dan dunia saat ini. Dan saya kira tidak ada alasan bagi Susilo maupun bawahannya di pemerintahan untuk terus belajar sekalipun masa jabatan di pemerintahan sudah hampir selesai. Wasalam.[end]

Selasa, 12 Agustus 2008

Geng nero

Oleh Administrator

Fenomena kekerasan di kalangan remaja kembali menarik perhatian masyarakat. Beberapa waktu lalu sempat heboh soal kekerasan yang dipicu oleh lahirnya geng-geng remaja di Sekolah Menengah Atas, hingga menimbulkan penganiayaan terhadap para siswa. Sekarang masyarakat kembali dikejutkan dengan keberadaan geng Nero. Geng ini terdiri dari sekelompok remaja perempuan yang terikat oleh loyalitas yang sama dalam menjaga keunggulan kelompoknya. Seperti yang diberitakan oleh Kedaulatan Rakyat, koran lokal di Yogyakarta pada 22 Juni lalu, keempat anggota geng Nero yakni Ratna, Yunika, Maya dan Tika semula merupakan sesama atlet basket Sekolah Menengah Pertama di kota Juwana. Kebersamaan ini berlanjut, meskipun mereka berada di bangku Sekolah Menengah Atas yang berbeda. Tali persahabatan ini lantas menginisiasi sebuah gagasan untuk membentuk geng yang tak tertandingi di kotanya. Maka lahirlah geng Nero sebagai simbol kedigdayaan yang akan membabat habis para remaja di bawahnya, terutama berkelamin sejenis, yang berani bertingkah di luar batas kesesuaian yang telah distandarkan oleh mereka sendiri.

Melalui pengorganisasian yang sistematis, beberapa aksi mereka lakukan. Layaknya polisi rahasia, mereka akan mematai-matai beberapa remaja putri di sekitarnya. Jika ada yang tampak ”kemayu” atau memiliki potensi membangkang terhadap ”mbak-mbak” geng Nero, maka akan ada pelaporan pada setiap pertemuan organisasi yang rutin diadakan. Hasil laporan itu lantas mereka olah untuk menemukan cara yang strategis saat menghajar orang-orang yang sudah mereka incar.

Pada tahap awal mereka mungkin akan menghadang calon korban itu di tengah jalan lalu menegurnya. Mereka memberi peringatan sekaligus larangan kepada korban untuk tidak mengulangi perbuatan yang tidak sesuai dengan norma-norma ciptaan geng Nero. Jika hal tersebut masih juga dilakukan atau justru lebih dari sebelumnya, maka aksi labrak menjadi alternatif berikutnya. Korban akan menerima umpatan yang lebih keras. Ancaman yang diberikan tentunya juga lebih beragam dan menakutkan. Jika dalam selama proses pengawasan tidak ada perubahan prilaku, maka pilihan terakhir adalah melalui jalan kekerasan fisik.

Bagi geng Nero, pihak yang tidak menurut pada teguran merupakan tindak pembangkangan yang jauh dari pengampunan. Maka mereka mewajarkan pemukulan atau pengeroyokan. Sebab, selain memberikan pelajaran hal ini juga ditujukan untuk membuat korban benar-benar merasa jera dan percaya bahwa kekuasaan geng Nero tak dapat ditandingi. Akan tetapi siklus ini tidak selalu berlaku runut. Hukuman dapat diberikan tanpa melewati tahapan seperti yang dijelaskan di atas. Geng Nero dapat saja langsung melabrak bahkan memukul, jika kesalahan yang dilakukan dianggap sudah melebihi batas.

Aksi kekerasan yang dilakukan para remaja seperti geng Nero, mungkin bukan sesuatu yang baru di negara ini. Hampir setiap tahun kita menyaksikan prilaku kekerasan yang diorganisir bahkan memiliki legitimasi, macam kegiatan ospek. Tidak dapat dipungkiri bahwa siswa senior akan melakukan berbagai cara untuk mendapatkan kepatuhan dari para junior. Berlindung dari jargon ’perpeloncoan’ atau penguatan mental, para kakak kelas akan memberi tugas yang tidak masuk akal, memerintahkan untuk melakukan aksi-aksi yang memalukan, dan memberi bentakan untuk setiap kesalahan yang memang dicari-cari.

Demikian halnya dengan fenomena geng di Sekolah Menengah Atas dan geng motor yang melakukan kaderisasi melalui cara-cara kekerasan. Setiap anggota baru harus melewati beberapa seleksi, salah satunya menghadapi tendangan atau pukulan para seniornya. Masyarakat pun meresahkan peristiwa itu bahkan berbagai kecaman sempat dilontarkan. Dalam konteks ini, perubahan sosial dianggap telah menyebabkan pergeseran nilai atau orientasi, serta format relasi. Merasuknya teknologi dijadikan kambing hitam dalam mendorong masyarakat untuk cenderung berpikir instan dan pragmatis, dimana secara struktural mempengaruhi pola interaksi seseorang, termasuk remaja. Visualisasi media sebagai pentas realitas dan ekpresi identitas bahkan dianggap telah terjerembab sebagai instrumen pengganda kultur kekerasan. Media yang terlalu banyak menampilkan tayangan-tayangan kekerasan dijadikan inspirasi bagi remaja untuk mendapatkan citranya sebagai yang “tak terkalahkan”.

Namun berbeda jika kasus kekerasan koletif tersebut dilakukan oleh sekelompok perempuan terhadap sesamanya. Tidak beranjak pada analisis yang muluk-muluk, tapi reaksi masyarakat lebih didominasi oleh perasaan heran. Sebab dalam pengertian umum perempuan diletakan pada definisi mahluk Tuhan yang paling halus, penurut dan suka mengalah. Intinya, perempuan jauh dari sikap yang ’neko-neko’ apalagi prilaku yang mengarah pada kekerasan. Jika keluar dari batas-batas sikap yang telah dikonstruksikan maka hal tersebut cukup mengagetkan. Sebab berarti perempuan telah berani menyepakati nilai yang ditabukan dan melawan kodratnya.

Dalam sejarahnya, perempuan dididik untuk menjadi manusia yang lembut, teliti, atau penyabar. Sebetulnya sifat-sifat tersebut tidak buruk. Hanya saja, selalu dijadikan pembenar untuk menempatkan perempuan pada posisi yang dapat dikendalikan dan dipasifkan. Sedangkan anak laki-laki memiliki batasan yang lebih luas dalam menentukan pilihannya. Laki-laki seolah-olah wajar jika menunjukkan eksistensinya yang jantan, pemberani, berkata lantang, dan memiliki aktivitas yang padat demi pergaulan dunia publik yang potesial bagi masa depannya. Internalisasi pola asuh yang demikian, akhirnya akan membentuk ruang interaksi dan identitas yang berbeda. Aktivitas domestik yang sarat dengan nilai-nilai kepatuhan akan didekatkan dengan perempuan. Sebaliknya, sektor publik yang lekat dengan dominasi, menjadi wilayah yang dipasrahkan pada kendali laki-laki. Sehingga, laki-laki akan lebih banyak kesempatan untuk mendapatkan pengakuan atas karya-karyanya. Sementara perempuan, betapapun hebatnya, tetap akan meringkuk dalam sarangnya. Seperti istilah yang turun menurun diajarkan bahwa perempuan adalah konco wingking. Jadi sepandai-pandainya perempuan, dia tetap akan bermukim di dapur.

Jika alur berpikir masyarakat tersebut terus dilestarikan, maka munculnya kecemburuan akan menjadi sesuatu yang tidak mustahil. Tekanan untuk selalu menutupi kelebihan dapat melahirkan sebuah gugatan bahwa perempuan juga manusia yang memiliki bakat dan potensi untuk diakui di pentas publik. Timbul keinginan untuk juga dihargai, dan menjadi generasi tidak melulu kalah. Namun karena hal tersebut hanya diperoleh dalam diri seorang laki-laki, maka perempuan lantas menduplikasi prilaku-prilaku konstruktif yang dilekatkan pada lawan jenisnya. Seperti yang dilakukan oleh geng Nero. Sebagai kelompok perempuan, mereka ingin menanggalkan posisi inferioritasnya. Upayanya adalah dengan menegasikan sifat-sifat lembutnya dan cenderung mencotoh sikap yang kasar dan menindas agar dapat dianggap sebagai kelompok yang superior—tidak kalah ’jagoan’ dibandingkan laki-laki. Namun sayangnya, imitasi itu bukan mengarah pada pembebasan perempuan atas belenggu kultural yang menjeratnya selama ini, tapi justru mewujudkan simpul-simpul kekerasan yang dilakukan oleh perempuan kepada sesamanya.

Terkuaknya kasus geng Nero akhirnya menuai kegelisahan yang pantas untuk direnungkan. Pemahaman kesetaraan yang diinspirasi oleh pendidikan keluarga yang tidak adil gender ternyata melahirkan sebuah keputusan destruktif yang tidak menguntungkan pihak manapun. Metode gugatan atas ketidaksepakatan terhadap struktur patriarkhi yang dilakukan geng Nero malah menjadikan bumerang bagi kaumnya sendiri. Sebab, pencitraan sebuah aktualisasi tetap diukur melalui cara-cara maskulin yang menimbulkan kekerasan. Padahal melepaskan diri dari dominasi patriarkhi berarti menanggalkan segala cara berpikir maskulin untuk menjadi subjek yang otonom dengan identitas keperempuanan yang memang berbeda. Dengan mengusung dan menempatkan nilai-nilai kebaikan feminitas yang nir-kekerasan, perempuan justru akan memiliki serangkaian potensi yang dapat dimanfaatkan untuk menjadikan dirinya berdaya, berguna dan berprestasi.[end]

Gerakan demokratik

Gerakan Demokratik Belum ‘Kehabisan Akal’

-Konsolidasi Gerakan merespon pemilu 2009-

Satu kemajuan penting gerakan demokratik di Indonesia telah dicapai, Berkumpulnya lebih dari 20 organisasi rakyat dari seluruh Indonesia dalam satu konferensi adalah bukti bahwa gerakan demokratik belum ‘kehabisan akal’ dalam melawan musuh-musuh rakyat. Antusiasme lebih dari 100 peserta yang hadir dalam konferensi dalam mengemukakan pandangan dan pokok-pokok pikirannya menunjukan optimisme kemenangan yang pasti datang. Sekalipun agenda demi agenda pembahasan berhasil diselesaikan dan kesepakatan-kesepakatan tentang sikap dalam menghadapi pemilu 2009 telah dirumuskan secara demokratis, namun secara keseluruhan belumlah menjadi satu cerminan dari keberhasilan sebuah konsolidasi besar gerakan rakyat. Masih sangat banyak organisasi massa rakyat yang belum terlibat dalam konsolidasi ini. Kita hanya berhasil mengonsolidasikan sebagian kecil organisasi buruh, sebagian kecil organisasi tani, sebagian kecil organisasi mahasiwa dan seterusnya. Padahal bersama-sama pula kita menyaksikan selama ini maraknya konsolidasi-konsolidasi taktis baik yang bersifat sektoral ataupun momentual dari tingkat nasional hingga daerah-daerah yang melibatkan berbagai organisasi dalam jumlah sangat besar.

Problem fragmentasi memang telah disadari sebagai fatsal yang paling fundamental menjadi penyebab lemahnya gerakan. Tanpa persatuan dari seluruh kekuatan demokratik yang ada, perlawanan melawan musuh rakyat yang paling berat menjadi sangat sulit dimenangkan. Gerakan yang terpecah-pecah baik sektor ataupun teritori membuatnya kehilangan sebagian besar signifikansi politiknya untuk mendesakkan perubahan. Dengan begitu semakin amatiran dan tidak memiliki kemampuan memukul musuh yang paling tangguh. Gerakan yang terpecah-pecah secara sektor ataupun teritorial hanya mampu melawan musuh yang paling kecil, hanya memenangkan pertandingan di sektor atau teritorinya saja.

Lalu, dengan apa dan dalam lapangan politik mana yang akan memudahkan kita dalam melaksanakan tugas-tugas tersebut? Bersama-sama kita telah menyimpulkan bahwa imperialisme telah merampas sumber-sumber modal yang seharusnya dapat digunakan untuk memajukan tenaga produktif rakyat. Industri nasional yang seharusnya menjadi jawaban atas problem-problem rakyat --problem pengangguran, kemiskinan, konsumsi dan lain sebagainya-- tidak bisa dibiayai lagi oleh negara. Negara menjadi kekurangan modal untuk membangun industri dalam negerinya, sementara rezim borjuasi SBY-Kalla tidak lebih hanya sebagai pengobral aset-aset rakyat, tidak berani melawan kehendak imperialisme. Perlawanan-perlawanan spontan rakyatpun bermunculan terutama dari sektor-sektor rakyat yang terkena dampak langsung dari praktek-praktek imperialisme. Walau demikian gerakan-gerakan yang muncul masih bersifat spontan dan embrionik, belum tersistematisir dan terpimpin, sehingga menjadi rentan terhadap sogokan-sogokan negara borjuasi. Dengan begitu sebenarnya lapangan politik pemilu seharusnya dipandang sebagai bagian dari lapangan front bagi gerakan demokratik untuk lebih dapat secara efektif mengampanyekan tuntutan-tuntutan rakyat. Totalitas dari ketepatan dalam memilih program yang tepat sebagai jalan keluar dari persoalan-persoalan rakyat, bentuk perjuangan bersama (front) dan lapangan politik pemilu seharusnya menjadi keyakinan kita bersama.

Namun seperti yang telah dijelaskan diawal soal sikap politik gerakan, organisasi dan individu yang memercayai kebenaran dari strategi dan taktik (Stratak) kita masih kecil, belum mayoritas. Tampak ada hambatan-hambatan khusus untuk menarik mayoritas organisasi atau individu dalam stratak kita, ke dalam persatuan dalam merespon momentum pemilu; ke dalam persatuan yang lebih solid dalam partai front. Karenanya gerakan harus mendapat contoh dari kaum pelopornya. Meskipun hanya sedikit melibatkan organisasi dan individu dalam konsolidasi, kaum pelopor seharusnya tidak memundurkan langkah yang sudah menjadi keyakinannya. Kepeloporan politik dibutuhkan untuk membuka kebuntuan politik yang dialami gerakan, sekaligus tetap berpropaganda tentang kebenaran stratak.

Sikap itulah yang memberikan tekad untuk tetap melaksanakan konferensi seperti yang dijadwalkan yaitu pada tanggal 20 dan 21 Juni 2006. Bertempat di Cibinong, Bogor-Jawa Barat, secara bersama-sama dirumuskan satu tema besar soal taktik dalam merespon pemilu 2009. Ada beberapa landasan yang menjadi alasan pentingnya konferensi ini:

  1. Soal kesimpulkan tentang kepentingan utama dari imperialis yaitu pertama mencari sumber bahan baku kedua pasar untuk menampung hasil-hasil produksi dari negara-negara industri utama dan ketiga tenaga kerja murah. Untuk melancarkan kepentingannya tersebut imperialisme membutuhkan liberalisasi ekonomi dan privatisasi di negara-negara sasaran ‘pencaplokan’ yang dilegalkan dalam bentuk deregulasi perundang-undangan seperti UU PMA, UU Sumber Daya Air, Otonomi Daerah dan lain sebagainya yang pada dasarnya memudahkan imperialisme melakukan pencaplokan ekonomi. Imperialisme yang menunjukkan kepentingan nyata dalam pengusaan sumber daya alam. Misalnya Kasus blok Cepu, pemberian beberapa sumur minyak lain, dan baru-baru ini perusaaan tambang asing RioTinto yang kembali ditunjuk pemerintah untuk membuka ekplorasi tambang emas dan nikel di Sulawesi Tengah dan sebagainya. Hal inilah yang menjadi penyebab perekonomian nasional semakin memperoleh hambatan untuk maju karena industri dan struktur industri kita semuanya bergantung pada asing; semuanya tergantung impor. Arena kebijakan pemerintah tidak pernah menyediakan sumber daya untuk memajukan sektor industri bahkan yang lebih parah lewat anggaran yang ditetapkan pemerintah justru difokuskan untuk membayar utang luar negeri, rekapitulasi surat obligasi perbankan dan lain sebagainya.
  2. Pemerintahan SBY-Kalla justru berpihak kepada kepentingan Imperialisme dari pada memberi tekanan kepada pertumbuhan tenaga produktif rakyat. Sementara kekuatan elit pun tak jauh berbeda, semuanya tunduk pada kehendak imperialis. Sikap populis yang ditunjukkan oleh PDI-P dalam kasus penolakan revisi UUK no. 13 hanyalah sebagai strategi kampanye mereka untuk meraih simpati massa.
  3. Di tingkat gerakan, pelajaran yang dapat kita ambil adalah pertama, gerakan anti imperialisme makin mengerucut; kedua, kebutuhan mendekatkan diri dengan politik semakin menguat; pengalaman Amerika Latin cukup signifikan menginspirasi gerakan. Contoh: sayap politik WALHI dan PPR, termasuk juga di Gerakan Mahasiswa terjadi perubahan mindset dalam memandang pemilu. Maka, menjadi tugas kita sekarang adalah selain tetap membangun gerakan ekstra-parlementer, langkah-langkah parlementer juga harus mulai dimasuki oleh kaum gerakan yang anti imperialis untuk menyediakan alternatif politik bagi rakyat.
  4. Bahwa perjuangan menentang imperialis harus diarahkan kepada kepentingan pokok kaum imperialis saat ini, yaitu; bahan baku, pasar dan tenaga kerja. Dalam konteks gerakan dibutuhkan satu fokus dalam rangka menajamkan isu tentang perang terhadap imperialisme, satu program tuntutan yang dapat memudahkan penerimaan dan pengertian rakyat terhadap imperialisme, program tersebut yaitu: Hapuskan hutang luar negeri, pengambilalihan perusahaan-perusahan tambang dan bangun pabrik (industri) nasional. Ketiga fokus tuntutan ini disebut “Tri Panji Persatuan Nasional untuk Kesejahteraan Rakyat”. Tri Panji Persatuan Nasional untuk Kesejahteraan Rakyat sekaligus sebagai alat dalam mempersatukan gerakan spontan rakyat. Itulah mengapa Tri Panji Persatuan Nasional untuk Kesejahteraan Rakyat disebut leitstar (bintang penuntun arah) bagi agitasi propaganda perjuangan melawan imperialisme secara lebih utuh.

Konferensi sendiri dihadiri oleh organisasi tingkat nasional dan daerah, yang tergabung dalam coregroup–coregroup baik coregroup di tingkat nasional maupun coregroup di tingkat wilayah dan kota, yang hingga saat ini telah terbangun di 17 propinsi. Di tingkat nasional organ yang tergabung dalam inisiator awal nasional adalah Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia (Hikmahbudhi), Gabungan Solidaritas Perjuangan Buruh (GSPB), Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI), Serikat Tani Nasional (STN), Serikat Rakyat Miskin Kota (SRMK), Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi (LMND), Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (JAKER) dan Partai Rakyat Demokratik (PRD), dan dari organ wilayah ada puluhan organ lokal yang telah bergabung, di antaranya adalah PSTP-Belawan, FPB, KPPJ, GERAM (Gerakan Rakyat Miskin), HPPI (Sumut), SPKL (Lampung), SBTPI, SPOI (Jakarta), KAMD, PSB (Jateng), SPI, KMY, PRP, SMI (Jogjakarta), LPKP (Jatim), KPRK (Bali), Kelompok Peduli Lewotana- KPLT, Serikat Rakyat Untuk Pemukiman Layak, SEPARATIK, FORUM PEMUDA LEMBATA (FPL), SPP (Serikat Pedagang Pasar), GERAM (Kelompok Tani Rotanolet, Forum Aspirasi Masyarakat Desa Iantena, KelompoK tani Liavua), FORMARES, SAMPEL, Forkomasta (NTT), PPM, KPPSB (Kaltim), YTM, KPPA, Amasuta, Lespek Buol, PEI, PBHRST, YMPP, YPR, PRMST, KKP, IPBK-Bangkep, JARI, SP (Sulteng). Sementara peserta peninjau yaitu dari SBSI 1992. peserta peninjau ini memang nantinya diperspektifkan dapat terlibat dalam partai front kita. Namun peserta peninjau yang tadinya menyanggupi untuk datang tidak dapat berada bersama-sama kita dalam forum karena ada halangan mendadak.

Dalam konferensi disepakati satu bentuk organisasi yang masih bersifat komite persiapan yang diberi nama KOMITE PERSIAPAN PARTAI PERSATUAN PEMBEBASAN NASIONAL (KP-PAPERNAS), yaitu satu bentuk organisasi yang masih bersifat non permanen sebagai kelanjutan dari kerja pembentukan coregroup, sekalipun bentuk organisasinya masih bersifat non permanen atau masih dalam bentuk sebuah komite persiapan namun bentuk organisasinya sudah disiapkan untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan mendesaknya terutama soal kampanye dan propaganda, perluasan struktur dan pendanaan organisasi. Itulah mengapa KP-PAPERNAS dibuat lebih rigid struktur organisasinya, menyerupai organisasi permanen --tentunya dalam menuju penstrukturan yang lebih permanen tersebut harus melalui sebuah mekanisme yang demokratis, yaitu kongres-- dengan tujuan memperbanyak keterlibatan orang dalam kerja-kerja fungsional. Hal lain yang juga penting adalah soal bagaimana komite persiapan yang dibangun harus dapat mengakomodir kemungkinan bergabungnya organisasi atau individu baru ke dalam komite. Di sinilah satu badan presidium dibutuhkan, satu badan yang merupakan representasi dari kekuatan-kekuatan politik yang mendukung komite, sekaligus sebagai badan yang berfungsi sebagai pengontrol eksekutif. Organisasi-organisasi yang akan bergabung belakangan otomatis akan masuk menjadi anggota presidium. Selain dua badan tersebut masih ada satu institusi lagi yang cukup penting adalah majelis pertimbangan organisasi (MPO), MPO menjadi penting dalam fungsi menaikkan citra komite di hadapan rakyat. Dalam MPO berisi tokoh-tokoh politik yang sepakat dengan program komite, namun secara organisasi MPO tidak memiliki wewenang terhadap eksekutif atau presidium. Walau demikian MPO dapat memberikan pertimbangan politik terhadap eksekutif.

Dalam sesi pemilihan pengurus eksekutif KP-PAPERNAS terpilihlah kawan:

Dominggus Oktavianus (FNPBI) sebagai Ketua Umum KP-PAPERNAS, Sulaiman (GSPB) sebagai ketua I (bidang perburuhan), Rudi Hartono (LMND) sebagai ketua II (bidang pemuda dan mahasiswa), Gigih Guntoro (PRD) sebagai ketua III (bidang petani dan nelayan), Marlo Sitompul (SRMK) sebagai ketua IV (bidang kaum miskin kota), Tejo Priyono (JAKER) sebagai ketua V (bidang seni dan budaya), Lukman Hakim (PRD) sebagai sekretaris jendral, Ganjar Krisdiyan (PRD) sebagai Wakil Sekretaris Jendral, Daniel Johan (HIKMAHBUDHI) sebagai Bendahara dan Katarina Pujiastuti (FNPBI) sebagai Ketua Hubungan Internasional. Sedangkan jajaran departemen akan dipilih melalui rapat antara Presidium dan seluruh jajaran pengurus pusat terpilih hasil konferensi,

Tugas utama komite persiapan ini adalah melaksanakan kongres partai persatuan sebagai alat bagi kita untuk dapat berpartisipasi dalam pemilu 2009. Tentunya untuk dapat terlibat pemilu, partai membutuhkan syarat-syarat terutama struktur di tingkat propinsi, kota dan kecamatan. Karena itu tugas dari KP-PAPERNAS adalah melengkapi kekurangan struktur yang ada yang menjadi syarat dari Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (DEPHUKHAM) dan KPU. Selain itu KP-PAPERNAS juga memiliki keharusan untuk terus melibatkan rakyat melalui organisasi-organisasinya ke dalam KP-PAPERNAS, sekaligus dalam upaya memaksimalkan kampanye perlawanan terhadap Imperialisme.

Wacana

Reformasi Yang Mati Suri

Oleh : Rahmat Sutopo

Adalah tanggungjawab sejarah generasi muda, khususnya mahasiswa, untuk terus berjuang memperbaiki nasib bangsanya. Sebagian besar rakyat kita adalah masyarakat yang belum bebas dari kebodohan dan kemiskinan, dipundak mahasiswa-lah mereka menaruh harapan akan masa depan anak-anaknya agar hidup lebih baik dimasa mendatang. Melalui kemampuan intelektualitas, seyogyanya mahasiswa mampu menangkap perasaan rakyat akan pentingnya kesejahteraan dan demokrasi, yang adil dan merata, sebagai konsekuensi logis dari negara yang merdeka-berdaulat.

Kemerdekaan berarti kebebasan untuk menentukan nasib dan memiliki kesempatan yang egaliter untuk berkehidupan. Artinya, kemerdekaan harus mampu mengangkat harkat dan martabat rakyat untuk hidup layak, serta turut andil dalam proses ber-negara. Itulah demokrasi, rakyat memiliki hak untuk terlibat dalam urusan Negara, sesuai dengan sistem negara yang disepakatinya. Dalam hal ini, rakyat berhak mempertanyakan nasibnya dan menyuarakan pendapatnya. Secara kolektif, perikehidupan rakyat yang baik akan tercipta bila negara dikelola oleh aparat yang bersih, jujur dan transparan dalam melaksanakan tugasnya. Konsekuensinya Negara harus bebas dari praktek Kolusi, Korupsi dan Nepotisme ekonomi yang mengorbankan kepentingan rakyat. Maka hanya dengan pemerintahan yang bersih dan kejujuran, para pengelola negara memiliki kewibawaan. Untuk menjamin Negara yang sehat, tidak lain Hukum harus ditegakkan. Supremasi hukum, merupakan fondasi yang mengikat objektifitas penyelenggaraan negara dimana pengelola negara hanya mengabdi pada kebenaran dan kepentingan umum. Hanya dengan menegakkan hukum dan moralitas kejujuran, demokrasi yang sebenarnya akan terbangun dengan kokoh. (Yuddy Chrisnandy,)

Secara faktual, mahasiswalah yang menjadi ujung tombak sekaligus mainstream dari gerakan perubahan yang berlangsung di manapun. Dengan nalar intelektualitasnya, mahasiswa mampu menemukan argumentasi rasionil mengenai kondisi yang bobrok dan tidak sesuai dengan semangat konstitusi atau nilai kemanusiaan . Permasalahannya apakah kondisi riil saat ini, apakah mahasiswa masih punya nurani untuk melanjutkan agenda reformasi? Mahasiswa jangan melulu berada di kampus, lihatlah kondisi rakyat Indonesia saat ini. Akankah kita biarkan rakyat Indonesia selalu dibodohi. selalu di tindas? Dimana nurani kita, ketika ternyata masih banyak rakyat yang menderita karena ulah penguasa. Jangan biarkan reformasi mati suri ditangan para diktator yang berkedok demokrasi. Jangan pernah takut berjuang kawan, jika perjuangan itu berada dalam jalan kebenaran. Fiat Justicia Roeat Coulum (Tegakkan keadilan meski langit akan runtuh).

*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Unnes

Nasionalisme

Nasionalisme Indonesia saat ini

Nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang sejak awal anti kolonialisme dan anti imperialisme. Pembentukan Indonesia sebagai nation selain faktor kesamaan geografis, bahasa, kohesifitas ekonomi, dan yang paling pokok adalah make up psikologis sebagai bangsa terjajah. Mas, Tirto Adhi Suryo adalah bangsawan jawa pelopor pembentuk kesadaran nasionalisme tersebut. Lewat kecakapannya sebagai primbumi terdidik, lahir organisasi modern pertama; Serikat Priayi (SP). Organisasi ini tidak berumur panjang, dan tidak pernah kelihatan memimpin kesadaran politik anti penjajah karena di dalamnya tergabung kaum priayi Jawa yang masih memegang teguh status kepriayiannya. Namun organisasi ini telah menjadi media pertama kali secara struktur kaum pribumi mendiskusikan embrio sebuah Nation. Kesadaran pembentuk nation justru sesungguhnya berasal dari koran bernama “Medan Priayi” yang didirikan Tirto Adhi suryo pada tahun 1907 dengan format 125 kali 195mm, dengan tebal 22 halaman terbit seminggu sekali. Kenapa koran ini yang menjadi peletak dasarnya? Karena lewat koran inilah gagasan nasionalisme tertulis pertama kali dan dibaca dan menjadi pembentuk kesadaran awal tentang nasionalisme melampaui perbedaan agama, suku, dan organisasi. Koran tersebut diterbitkan dengan semboyan: “Suara orang-orang yang terperintah”. Kita masih mengingat bagaimana peranan tulisan telah menentukan proses gerak sejarah bangsa termasuk pembentukan nation, karena tanpa tulisan maka betapa sulitnya menyatukan nusantara yang Terdapat lebih dari tigaratus etnik berbeda di Indonesia, masing-masing dengan identitas budayanya sendiri, dan lebih dari duaratus limapuluh bahasa berbeda yang diucapkan di kepulauan (archipelago) Indonesia.

Terobosan nasionalisme yang semakin jelas titik terangnya sebagai media pembentuk kesadaran sebagai sebuah bangsa adalah tulisan Soekarno dalam pengadilan Belanda yang berjudul Indonesia Menggugat. Artikel ini menguraikan dengan jelas dampak buruk dari praktek kolonialisme terhadap kehidupan rakyat indonesia, dan menguras kekayaan alam indonesia. Ada seruan untuk membangun persatuan nasional untuk melawan penjajah, dan mobilisasi-mobilisasi umum untuk melawan kesewenang-wenangan penjajah. Gagasan nasional ini semakin menemukan akar persatuannya -- tanpa dipaksakan dengan penyelenggaraan sumpah pemuda pada tahun 1928 yang melibatkan pemuda-pemudi, mahasiswa,dan pelajar dari semua kepulauan.

Kontra-Revolusi dan Matinya Nasionalisme Sejati

Nasionalisme Indonesia yang dirintis oleh Tirto Adhisuryo, di kuatkan oleh soekarno, dan disebarkan dan di budayakan secara massif oleh organisasi sosial dan partai politik sejak 1920-an hingga 1960-an diinterupsi dan dihancurkan sampai berkeping-keping oleh kontra –revolusi tahun 1965. Soekarno berhasil mengarahkan pemimpin lokal/kepulauan untuk menerima persatuan nasional dengan jalan damai dan kesadaran sejati untuk melawan penjajahan belanda dan ancaman neo-kolonialisme. Lihat saja, bagaimana orang Aceh (yang sekarang membentuk Gerakan Aceh Merdeka) mau mengumpulkan emas dan kekayaan mereka untuk membeli sebuah pesawat pertama indonesia. Dalam membangun internasionalismenya, Soekarno memperkenalkan konsep ekonomi setara dan tidak ada eksploitasi dengan mengajak negara-negara Asia-Afrika, menolak kerjasama dengan blok imperialis dan lembaga bantuan moneternya karena cenderung ingin merampok negara miskin—baru merdeka.

Namun, naiknya rejim orde baru telah meluluhlantakkan bangunan nasionalisme sejati tersebut. Soeharto lansung membuka pintu ekonomi indonesia seluas-luasnya bagi kemakmuran korporasi dan negara-negara imperialis. Selama 32 tahun, soeharto telah sukses menjadikan indonesia betul-betul bangsa kuli, yang tunduk dan membebek pada tuntutan dan kehendak pemilik modal. Soeharto menghilangkan gagasan nasionalisme soekarno dan hanya mencomot istilahnya saja sedangkan dalam praktek sungguh sangat berbeda. Nasionalisme soeharto adalah Nasionalisme chauvinis, yang mengukuhkan kediktatoran militer terhadap kekuatan sipil. Dengan menggunakan tameng stabilitas politik guna menopang stabilitas ekonomi sebenarnya soeharto sedang mengibuli rakyat; “ silahkan rakyat diam, jangan menuntut macam-macam agar tidak mengganggu stabilitas perampokan oleh kroni soeharto. Dokrin stabilitas politik dan faham nasionalisme integralistik menjadi faham Orde baru untuk menumpas semua kekuatan oposisi dan perlawanan lokal dengan istilah separatisme. Faham negara integralistik adalah faham yang diperkenalkan oleh Mr. Soepomo untuk menjelaskan konsep nasionalisme indonesia yang diambil dari tradisi kuno masyarakat Jawa. Faham integralistik ini mengandaikan bangsa indonesia ini sebagai satu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Dalam adat masyarakat tradisional jawa, Ayah adalah kepala keluarga, sedangkan Ibu yang mengurusi domestiknya, dan anak harus patuh pada kedua orang tuanya.

Gerakan Aceh Merdeka(GAM), Organisasi Papua Merdeka(OPM), dan Republik Maluku Selatan (RMS), ataupun Organisasi Tanpa Bentuk (OTB), Gerakan Pengacau Keamanan(GPK) adalah label-label makna/discourse yang dibangun orde baru untuk menghilangkan ruang bagi kemunculan oposisi. Nasionalisme orde baru sekedar di tafsirkan untuk stabilitas kekuasaan, dan untuk itu orde baru telah menhalalka jalan kekerasan militer. Berbagai rentetan pelanggaran HAM di masa Orde Baru adalah bukti nyata bagaimana orde baru gagal meraih dukungan dari mayoritas rakyat, dan kepulauan ini untuk menegakkan kekuasaannya.

Nasionalisme Kini: Berwajah Ganda

Di bawah pemerintahan SBY-Kalla, dilema nasionalisme semakin mendapat tempat dalam kolom-kolom surat kabar, polemik-artikel, dan bahkan dalam mobilisasi massa. Ada hal yang menarik ketika sejumlah jenderal dan mantan petinggi militer mendeklarasikan blok politik, mengkritisi orinetasi pemerintahan SBY-Kalla yang semakin condong pada budak/antek asing. Kosakata “Imperialisme” setelah sekian lama di kuburkan dalam kosakata ilmiah bahasa indonesia, kembali mendapat tempat dan menemukan ruangnya kembali dalam mobilisasi politik, dan perdebatan intelektual.

Ada yang sangat lucu, saat SBY dan segenap politisi partai di negeri ini mengangkat panji-panji nasionalisme untuk mengutuk tindakan pengibaran bendera RMS, pengibaran bendera bintang kejora, dan penggunaan lambang GAM sebagai tandagambar Parpol Lokal di Aceh. Dalam kesempatan yang lain SBY merendahkan martabat bangsa ini ketika bertemu Bush, atau perwakilan pengusaha dari negara-negara maju. Bahkan SBY mensahkan UU penanaman Modal, dan berbagai perangkat kebijakan dan perjanjian dengan negara lain yang sangat merendahkan martabat kita. Kenapa SBY tidak bereaksi---bersama politisi parpol di negeri ini—ketika militer singapura dan persenjataannya bebas melakukan latihan militer di perairan Indonesia. Dimana martabat SBY-Kalla sebenarnya?

Nasionalisme bagi SBY-Kalla, hanyalah manuver politik. Sebuah alat efektif untuk menghindari persoalan krisis ekonomi dan menaikkan popularitasnya. Tetapi, mestinya kita juga harus tahu bahwa SBY (yang eks tentara itu) sangat tunduk dan patuh dengan kehendak dan kepentingan pemodal asing di Indonesia.

Oleh Administrator

OPINI


Yang Mahasiswa Yang Membaca

Oleh : Rahmat Sutopo

Dunia kemahasiswaan yang merupakan dunia paling indah bagi para pemuda-pemudi hendaknya untuk saat ini perlu merenungkan apa yang sebenarnya terjadi dalam dirinya. Karena kindahan-keindahan yang menghiasi dunia mahasiswa saat ini telah mengalami kemunduran dan kemerosotan yang sangat drastis. Mahasiswa telah mencoreng muka mereka sendiri dengan Lumpur kering. Stigma masyarakat telah miring pasca tindakan-tindakan brutal yang tidak mencerminkan tindakan seorang intelektual muda. Tawuran antar Fakultas yang terjadi di sulawesi merupakan bentuk penghilangan identitas sejati mahasiswa yang konon kabarnya adalah agent of change. Ironis memang, ketika mahasiswa diajak untuk aksi unjuk rasa memperjuangkan kepentingan rakyat tertindas mereka tak mau, namun untuk tawuran saling serang sesama mahasiswa mereka amat semangat. Kita harus mengingat kembali siapa yang bisa menumbangkan rezim-rezim otoriter, angkatan 66 s/d reformasi 98 adalah kita mahasiswa yang bisa melakukannya. Kalau calon-calon pemimpin bangsa seperti ini bagaimana nasib bangsa ini selanjutnya. Ketika Asing sudah berlahan masuk ke negeri ini dan sedikit demi sedikit menguasai aset-aset negeri ini apa yang bisa kita lakukan, lama-lama anak cucu kita bakalan ngontrak di negeri sendiri.

Semua mahasiswa harus kembali memahami peran mereka saat ini. Apakah yang harus dilakukan oleh seorang mahasiswa. Apakah tindakan kita sudah sesuai peran yang kita emban saat ini. Kita mendapatkan peran sebagai mahasiswa tidaklah lama paling 4 sampai 5 tahun saja. Kemudian apa yang menjadikan mahasiswa berat meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lamanya di SMA seperti main, ngegame, pacaran, dan melakukan kegiatan yang sama sekali tidak menjamin masa depan mereka apalagi masa depan bangsa dan negaranya. Padahal kalo hitung-hitungan secara matematis waktu kuliah dan waktu kosong selama satu semester adalah 40 : 60. Jadi menurutku kebangetan lah kalo sampai mahasiswa itu ga bisa jadi Aktivis. Apalagi waktu yang tersisa banyak itu malah digunakan untuk ikut ekstrakulikuler pacaran. Sungguh sangat kasihan getho loh…, sekarang bisa ketawa, senyum-senyum, tetapi bagaimana besok dan selanjutnya…??? Jawaban ada di tangan anda masing-masing.

* Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang