Senin, 01 September 2008

Menata Kembali Niat Suci Reformasi

Menata Kembali Niat Suci Reformasi

Labilitas kondisi bangsa Indonesia saat ini, tampaknya masih terus berlanjut. Berbagai persoalan melingkupi hampir seluruh sendi kehidupan; sosial, budaya, ekonomi, politik, hukum dan pelbagai sendi kehidupan lainnya yang semakin menambah panjang derita bangsa ini.

Persoalan-persoalan sosial, seperti konflik horisontal bernuansa SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), maraknya peredaran narkoba, tingginya angka kriminalitas, meningkatnya jumlah pengangguran, eksploitasi sekaligus kekerasan terhadap anak di bawah umur, menjamurnya perjudian dan prostitusi, serta berbagai masalah sosial lainnya menjadi pemandangan sehari-hari masyarakat negeri ini.

Di bidang budaya, krisis identitas tengah melanda bangsa ini. Bangsa yang dulu dikenal dengan sopan santunnya, adat ketimurannya, serta nilai-nilai agamanya, kini seakan-akan tidak peduli lagi dengan seperangkat nilai-nilai normatif, baik yang terdapat dalam sebuah masyarakat, lebih-lebih yang diajarkan oleh agama. Hal ini bisa dilihat, misalnya, maraknya pornografi dan pornoaksi dianggap suatu hal yang biasa. Beredarnya koran, tabloid, serta majalah “kuning” tidak dianggap sebagai suatu hal yang mengkhawatirkan masa depan bangsa. Merebaknya tayangan film, sinetron, musik, bahkan iklan yang mengumbar sensualitas, pamer aurat serta eksploitasi tubuh kaum hawa, bahkan belakangan juga kaum adam, sudah menjadi konsumsi sehari-hari masyarakat negeri ini.

Kenyataan yang tidak jauh berbeda, bahkan yang sangat dirasakan oleh masyarakat negeri ini adalah berkaitan dengan masalah ekonomi. Melambungnya harga-harga kebutuhan pokok seiring dengan naiknya harga bahan bakar minyak (BBM), serta ulah para pejabat di pelbagai instansi pemerintah yang masih melanggengkan praktek korupsi semakin menyengsarakan rakyat banyak.

Di sisi lain, kehidupan politik pun tidak kalah memprihatinkan. Kebebasan berpendapat dalam menyuarakan aspirasi rakyat sedikit demi sedikit dibungkam. Tindakan represif aparat dengan menangkapi para demonstran yang, tidak jarang disertai dengan tindak kekerasan semakin menunjukkan sikap angkuh pemerintah, sekaligus membuka mata kita bahwa pemerintah belum dewasa dalam berpolitik. Di samping itu, yang lebih ironis adalah sikap para anggota dewan, yang tanpa risih dan malu lagi rame-rame menuntut kenaikan tunjangan.

Harapan terakhir bangsa ini adalah pada penegakan supremasi hukum. Ironisnya, hukum yang tujuannya untuk memberikan keadilan sosial untuk semua (social justice for all), saat ini justru dapat dieksploitasi sesuai dengan cita rasa kekuasaan. Para eksploitator dengan seenaknya menggunakan kekuasaan untuk mempertahankan kepentingan mereka.Institusi pengadilan seolah-olah impoten (baca: tidak berdaya) dalam menjalankan tugasnya. Ini dapat dilihat dari banyaknya kasus yang menyangkut para pejabat tinggi (white collar crime) dibiarkan menguap begitu saja tanpa ada kejelasan mengenai sanksi hukumnya.

Upaya mencari problem solving atas berbagai persoalan yang muncul di tengah-tengah masyarakat adalah suatu hal yang mendesak dan tidak bisa ditunda-tunda lagi. Ironisnya, sikap dan perilaku para pejabat negara tidak mencerminkan adanya keprihatinan terhadap persoalan yang sudah sedemikian peliknya.

Alih-alih mencari solusi atas berbagai persoalan yang melanda bangsa ini, para pejabat justru hanya berpikir bagaimana bisa “survive” di tengah situasi ekonomi yang sulit ini. Lebih mengenaskan lagi, perilaku para wakil rakyat pun setali tiga uang. Mereka yang notabene “wujud” dari suara rakyat seakan acuh tak acuh menghadapi berbagai problematika yang menimpa rakyat. Mereka sibuk ‘memenuhi’ pundi-pundi keluarga masing-masing. Sementara aspirasi-aspirasi rakyat yang disampaikan kepada mereka seolah menguap begitu saja, tanpa ada kejelasan kapan aspirasi tersebut dipenuhi.

Kenyataan ini, mengingatkan penulis pada sebuah adagium politik cukup klasik, yang diungkapkan oleh Lord Acton, ia mengatakan, ‘power tends to corrupt, and absolute power tends to corrupt absolutely’. Kekuasaan cenderung bertindak korup, dan kekuasaan yang mutlak cenderung berbuat korup secara mutlak pula. Fenomena inilah, tampaknya, yang sedang melanda bangsa Indonesia saat ini.

Kondisi bangsa yang semakin terpuruk ini, hendaknya menyadarkan pemerintah serta para pejabat negara untuk menata kembali niat suci reformasi yang sudah diselewengkan dari tujuan yang sesungguhnya. Agenda reformasi berupa pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), perbaikan sistem ekonomi, penataan kembali sistem politik, serta penegakan supremasi hukum perlu segera dilaksanakan.

Hal ini penting, karena selama bangsa Indonesia, lebih-lebih pemerintah dan para pejabat negara belum bisa menanggulangi KKN, serta masih membiarkan terbengkalainya pelbagai macam “pekerjaan rumah” yang ditinggalkan oleh pemerintah sebelumnya, maka sesungguhnya slogan-slogan reformasi itu hanya akan menjadi slogan kosong belaka, tanpa pernah ada realisasinya.

Dengan demikian, makna suci reformasi mengalami pendistorsian dari makna yang sesungguhnya. Keenyataan ini, jika dibiarkan berlarut-larut akan berimplikasi negatif bagi proses reformasi yang tengah dibangun. Lebih jauh, hal ini akan merusak tujuan reformasi yang sesungguhnya.

Untuk mengembalikan roda reformasi pada porosnya, kemudian meletakkannya pada rel yang sesungguhnya, dibutuhkan political will serta kedewasaan bersikap dari segenap elemen bangsa. Rakyat, pemerintah, elite politik, serta seluruh instrumen penyelenggara negara hendaknya bersikap dewasa, baik dalam berpikir maupun bertindak. Sehingga segala permasalahan yang dihadapi dapat diselesaikan dengan baik melalui proses berpikir jernih dengan cara-cara penyelesaian yang positif dan damai. Sehingga, dengan demikian win-win solution akan menjadi hasil akhir yang menguntungkan semua pihak.

Akhirnya, rakyat Indonesia mengetuk hati nurani pemerintah serta para pejabat negeri ini untuk lebih memperhatikan nasib bangsa ini, sehingga niat suci reformasi untuk memberantas KKN, menghapuskan segala bentuk ketidakadilan, meruntuhkan diskriminasi, mewujudkan sebuah masyarakat madani (civil society), masyarakat berperadaban yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan kesetaraan, serta upaya menciptakan pemerintahan yang bersih ( clean governance) benar-benar terwujud.

Pemerintah Indonesia Menjawab tanpa Bertanya, Bertindak tanpa Pijakan.

Pemerintah Indonesia Menjawab tanpa Bertanya, Bertindak tanpa Pijakan.

"Perubahan iklim dan pemanasan global itu nyata. Mari kita berhenti mendebatkan hal itu, mari bertindak nyata," demikian kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, seperti dikutip Jurnal Nasional, 06 Juni 2008. Pernyataan itu disampaikan presiden dalam peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia Tahun 2008 di Istana Negara, Jakarta.

Sejauh yang bisa saya amati, kata “tindakan nyata” tampaknya menjadi semacam kata kunci pemerintah sekarang dalam menunjukkan eksistensinya. Kata itu pulalah yang kerap dijadikan senjata dalam menjawab kritikan.


Menurut saya, pernyataan itu tidak semata-mata hendak menyatakan bahwa tindakan nyata itu penting; bahwa kerja nyata itu penting, tetapi juga bermakna bahwa kritik itu baru bisa diterima bukan dalam bentuk pernyataan gagasan, tetapi realisasi dari gagasan. Itu artinya, pemerintah sebenarnya tidak mau menerima saran dan kritik yang tidak sesuai dengan kehendak dan kepentingannya.

Mari kita cermati lagi pernyataan Susilo di atas. Dia mengatakan bahwa perubahan iklim dan pemanasan global itu nyata. Ya, benar, dan itu bisa dibuktikan. Dalam kalimat berikutnya, Susilo mengatakan, “mari kita berhenti mendebatkan hal itu, mari bertindak nyata”.

Bagi saya, pernyataan itu sulit diterima logika. Penyataan bahwa kita tidak perlu mendebatkan atau mempersoalkan pemanasan global, itu artinya kita diajak untuk berhenti mencari akar penyebab terjadinya pemanasan global. Itu sama dengan kita disuruh menjawab suatu persoalan yang kita tidak tahu penyebabnya. Mungkinkah kita memberi jawaban tanpa pertanyaan? Jawabnya, tidak!

Pemanasan global dan persoalan lingkungan secara umum tidak lepas dari tata ekonomi-politik dominan saat ini. Lingkungan alam memang senantiasa berubah dalam keseimbangan. Tetapi, di era kapitalisme global seperti sekarang, perubahan itu lebih banyak dipengaruhi intervensi manusia yang dalam banyak kasus tidak memperhitungkan keseimbangan, melainkan semata-mata untuk keuntungan.

Coba kita lihat dan pertanyakan, berapa besar kerusakan hutan akibat ekplorasi industri kehutanan? Bandingkan dengan kerusakan yang diakibatkan praktik perladangan berpindah yang kerap menjadi kambing hitam penyebab kerusakan hutan? Berapa banyak kawasan resapan air yang beralih fungsi menjadi perumahan mewah? Sungguh panjang bila itu diungkap semua.

Jika itu tidak dipersoalkan atau diperdebatkan sampai ke akar pemikiran yang mendasarinya, lalu apa yang bisa kita perbuat untuk membuat baik lingkungan yang semakin rusak ini? Tindakan nyata untuk itu jelas penting dan harus, tetapi tindakan nyata seperti apa yang bisa kita perbuat jika kita buta dan menutup mata pada akar persoalan penyebabnya?

Menurut saya, jika pemerintah memang paham dan mengerti persoalan-persoalan yang dihadapi Indonesia saat ini, segeralah berhenti mengemukakan pernyataan seperti yang dikatakan Susilo dan mulailah belajar lagi memahami kenyataan di Indonesia dan dunia saat ini. Dan saya kira tidak ada alasan bagi Susilo maupun bawahannya di pemerintahan untuk terus belajar sekalipun masa jabatan di pemerintahan sudah hampir selesai. Wasalam.[end]