Senin, 01 September 2008

Pemerintah Indonesia Menjawab tanpa Bertanya, Bertindak tanpa Pijakan.

Pemerintah Indonesia Menjawab tanpa Bertanya, Bertindak tanpa Pijakan.

"Perubahan iklim dan pemanasan global itu nyata. Mari kita berhenti mendebatkan hal itu, mari bertindak nyata," demikian kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, seperti dikutip Jurnal Nasional, 06 Juni 2008. Pernyataan itu disampaikan presiden dalam peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia Tahun 2008 di Istana Negara, Jakarta.

Sejauh yang bisa saya amati, kata “tindakan nyata” tampaknya menjadi semacam kata kunci pemerintah sekarang dalam menunjukkan eksistensinya. Kata itu pulalah yang kerap dijadikan senjata dalam menjawab kritikan.


Menurut saya, pernyataan itu tidak semata-mata hendak menyatakan bahwa tindakan nyata itu penting; bahwa kerja nyata itu penting, tetapi juga bermakna bahwa kritik itu baru bisa diterima bukan dalam bentuk pernyataan gagasan, tetapi realisasi dari gagasan. Itu artinya, pemerintah sebenarnya tidak mau menerima saran dan kritik yang tidak sesuai dengan kehendak dan kepentingannya.

Mari kita cermati lagi pernyataan Susilo di atas. Dia mengatakan bahwa perubahan iklim dan pemanasan global itu nyata. Ya, benar, dan itu bisa dibuktikan. Dalam kalimat berikutnya, Susilo mengatakan, “mari kita berhenti mendebatkan hal itu, mari bertindak nyata”.

Bagi saya, pernyataan itu sulit diterima logika. Penyataan bahwa kita tidak perlu mendebatkan atau mempersoalkan pemanasan global, itu artinya kita diajak untuk berhenti mencari akar penyebab terjadinya pemanasan global. Itu sama dengan kita disuruh menjawab suatu persoalan yang kita tidak tahu penyebabnya. Mungkinkah kita memberi jawaban tanpa pertanyaan? Jawabnya, tidak!

Pemanasan global dan persoalan lingkungan secara umum tidak lepas dari tata ekonomi-politik dominan saat ini. Lingkungan alam memang senantiasa berubah dalam keseimbangan. Tetapi, di era kapitalisme global seperti sekarang, perubahan itu lebih banyak dipengaruhi intervensi manusia yang dalam banyak kasus tidak memperhitungkan keseimbangan, melainkan semata-mata untuk keuntungan.

Coba kita lihat dan pertanyakan, berapa besar kerusakan hutan akibat ekplorasi industri kehutanan? Bandingkan dengan kerusakan yang diakibatkan praktik perladangan berpindah yang kerap menjadi kambing hitam penyebab kerusakan hutan? Berapa banyak kawasan resapan air yang beralih fungsi menjadi perumahan mewah? Sungguh panjang bila itu diungkap semua.

Jika itu tidak dipersoalkan atau diperdebatkan sampai ke akar pemikiran yang mendasarinya, lalu apa yang bisa kita perbuat untuk membuat baik lingkungan yang semakin rusak ini? Tindakan nyata untuk itu jelas penting dan harus, tetapi tindakan nyata seperti apa yang bisa kita perbuat jika kita buta dan menutup mata pada akar persoalan penyebabnya?

Menurut saya, jika pemerintah memang paham dan mengerti persoalan-persoalan yang dihadapi Indonesia saat ini, segeralah berhenti mengemukakan pernyataan seperti yang dikatakan Susilo dan mulailah belajar lagi memahami kenyataan di Indonesia dan dunia saat ini. Dan saya kira tidak ada alasan bagi Susilo maupun bawahannya di pemerintahan untuk terus belajar sekalipun masa jabatan di pemerintahan sudah hampir selesai. Wasalam.[end]

Tidak ada komentar: